Pengantar

Di buku ini kami ingin mempelajari agama yang paling primitif dan sederhana yang diketahui, untuk menganalisisnya dan mencoba menjelaskannya. Sebuah sistem keagamaan dapat dikatakan sebagai yang paling primitif apabila ia memenuhi dua syarat berikut: yang pertama, ia ditemukan di dalam masyarakat yang organisasinya relatif sangat sederhana[1]. Dan syarat kedua, bila ia dapat dijelaskan tanpa mengacu kepada unsur-unsur dari agama sebelumnya.

Kami akan berusaha untuk menjelaskan organisasi dari sistem tersebut dengan ketepatan dan akurasi yang dapat diberikan oleh seorang ahli etnografi dan sejarah Namun tugas kami tidak hanya terbatas di sana: sosiologi menimbulkan masalah selain sejarah atau etnografi Ia tidak bertujuan untuk mengetahui bentuk peradaban yang diwariskan dan kemudian merekonstruksinya kembali. Namun, seperti semua ilmu positif lainnya, objeknya adalah penjelasan untuk suatu kenyataan aktual yang dekat dengan kita, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi pemikiran dan tindakan kita: kenyataan ini adalah manusia, tepatnya, manusia hingga hari ini, yang mana tidak ada lagi hal yang lebih ingin kami ketahui. Kemudian kami tidak akan mempelajari suatu agama kuno hanya untuk mengetahui keunikan dan keistimewaannya. Bila kami mengambilnya sebagai subjek penelitian, itu karena menurut kami ia lebih cocok dibanding lainnya sebagai petunjuk awal dalam memahami sifat keagamaan, suatu aspek esensial dan permanen umat manusia.

Tapi dalil ini tidak diterima di hadapan suatu sanggahan yang kuat. Terlihat sangat aneh ketika seseorang harus kembali ke masa lalu, bahkan ke masa-masa paling awal dalam sejarah, untuk memahami kemanusiaan pada saat ini. Prosedur ini nampaknya menimbulkan paradoks pada pertanyaan yang menjadi perhatian kami. Pada faktanya, beragam agama pada umumnya dipandang tidak sama dalam nilai atau martabatnya; dikatakan bahwa mereka tidak mengandung kuota kebenaran yang sama Juga nampaknya seorang tidak dapat membandingkan bentuk tertinggi pemikiran keagamaan dengan yang terendah, tanpa merendahkan tingkatnya. Bila, contohnya, kita mengakui bahwa sekte dari suatu suku kuno Australia dapat membantu kita memahami Kekristenan, bukankah itu berarti menganggap bahwa Kekristenan juga lahir dari mentalitas yang sama, bahwa ia terbentuk dari takhayul dan tak lepas dari kesalahan? Inilah bagaimana intisari teoritis yang terkadang dikaitkan ke agama-agama kuno menunjukkan tanda permusuhan sistematis kepada semua agama, dimana dengan berprasangka kepada hasil studi berarti telah melemahkannya terlebih dulu.

Tidak ada kesempatan di sini untuk menanyakan apakah ada ilmuwan yang mengajukan argumentasi negatif, yang menggunakan sejarah agama dan etnologi sebagai senjata melawan agama Bagaimanapun juga, seorang sosiologis tidak dapat memiliki pandangan seperti itu. Faktanya, postulat esensial dari sosiologi menyatakan bahwa suatu institusi manusia tidak dapat berdiri di atas kesalahan dan kebohongan. Jika tidak ditemukan dalam sifat alaminya, ia akan menimbulkan perlawanan, sehingga tidak akan bertahan. Maka ketika kami memulai studi agama primitif, adalah dengan jaminan bahwa mereka nyata dan diekspresikan; prinsip ini akan terlihat lagi dan lagi dalam proses analisis dan diskusi, dan kritik kami terhadap sekolah-sekolah (yang tidak lagi terkait dengan kami) adalah bahwa mereka memilih mengabaikannya. Ketika dilihat secara harafiah, kepercayaan dan praktik agama-agama ini tak diragukan lagi kadang terlihat membingungkan, dan kita akan tergoda untuk menyatakan adanya kesalahan yang sudah berakar di sana. Namun seorang harus mendalami simbol tersebut untuk melihat realitas yang direpresentasikan dan makna di dalamnya. Ritus yang paling barbar dan fantastis serta mitos yang paling aneh menggambarkan kebutuhan manusia dan aspek kehidupannya, baik individual maupun sosial. Alasan mengapa pengikutnya membenarkan hal tersebut mungkin, dan pada umumnya, memang keliru; namun alasan yang sebenarnya tetap ada, dan menjadi tugas ilmu pengetahuan untuk menemukan itu.

Maka dalam kenyataannya, tidak ada agama yang salah. Semuanya benar dalam konteksnya masing-masing; semuanya menjawab, meski dengan cara yang berbeda, kepada eksistensi manusia pada kondisi tertentu Tidak dapat dipungkiri bahwa mereka dapat disusun secara hierarki Beberapa dapat dikatakan lebih tinggi tingkatnya dari yang lainnya, dalam pengertian bahwa mereka bekerja pada fungsi mental yang lebih tinggi, mereka lebih kaya akan gagasan dan perasaan, mereka memiliki lebih banyak konsep dengan sedikit sensasi dan gambaran, dan susunannya lebih bijaksana. Namun bagaimanapun nyatanya kompleksitas dan idealisme yang lebih tinggi ini, tidak cukup untuk menempatkan agama-agama tersebut ke dalam kelas yang berbeda. Semuanya setara sebagai agama, seperti semua makhluk hidup, dari plastid yang paling sederhana hingga manusia Maka ketika kami melihat agama- agama primitif, bukanlah untuk merendahkan agama secara umum, karena agama-agama ini tidak kalah terhormat dibanding yang lain. Mereka menanggapi kebutuhan yang sama, mereka memainkan peran yang sama, mereka bergantung pada sebab yang sama; mereka juga dapat menunjukkan sifat kehidupan beragama, dan karenanya memecahkan masalah yang kami ingin pelajari.

Tapi mengapa mereka mendapat semacam hak khusus? Mengapa memilih mereka dibanding yang lainnya sebagai subjek penelitian kami? —Ini hanyalah demi alasan-alasan metodik.

Pertama-tama, kita tidak dapat mencapai pemahaman mengenai agama terkini tanpa mengikuti bagaimana mereka terbangun secara perlahan sepanjang sejarah. Faktanya, analisis sejarah adalah satu-satunya sarana penjelasan yang mungkin digunakan untuk mereka. Hanya itu yang dapat memecahkan sebuah institusi menjadi unsur pembangunnya, dan menunjukkan kepada kita bagaimana agama-agama ini terlahir pada waktunya, satu demi satu. Di samping itu, dengan menempatkan masing-masing mereka dalam kondisi dimana mereka terlahir, maka di tangan kita lah satu-satunya cara untuk menentukan penyebab lahirnya mereka. Setiap saat kita berusaha menjelaskan sesuatu yang manusiawi, pada waktu tertentu dalam sejarah—seperti kepercayaan agamawi, pedoman moral, prinsip hukum, gaya estetika atau sistem ekonomi—penting untuk melihat kembali bentuknya yang paling primitif dan sederhana, untuk memperhitungkan karakteristiknya pada waktu itu, dan menunjukkan bagaimana ia berkembang sedikit demi sedikit menjadi lebih rumit, dan bagaimana ia menjadi hal yang sekarang kita pertanyakan. Seorang paham betapa pentingnya penentuan titik tolak untuk rangkaian penjelasan progresif ini, karena semua yang lain terikat padanya. Ini adalah salah satu prinsip Descartes bahwa lingkaran pertama memiliki tempat yang utama dalam rangkaian kebenaran ilmiah. Namun tidak perlu ditanyakan lagi bahwa pada fondasi ilmu agama terdapat gagasan yang dikembangkan secara kartesian, yakni sebuah konsep logis, suatu kemungkinan murni, dibangun hanya oleh kekuatan pemikiran. Apa yang perlu kita temukan adalah kenyataan konkrit, dan pengamatan historis dan etnologis dapat mengungkapkannya kepada kita. Namun meski penggambaran pokok ini didapatkan dari proses yang berbeda dari Descartes, tetaplah benar bahwa penggambaran ini ditakdirkan untuk memberi pengaruh yang besar kepada seluruh rangkaian dalil-dalil yang ditetapkan ilmu pengetahuan. Evolusi biologis telah dipahami secara berbeda sejak diketahui bahwa makhluk bersel tunggal benar-benar ada. Dengan cara yang sama, susunan fakta fakta religius dijelaskan secara cukup berbeda, seperti saat kita menempatkan naturisme, animisme atau bentuk keagamaan lainnya pada permulaan evolusi. Bahkan para pelajar yang paling ahli, bila mereka enggan membatasi diri mereka hanya pada pencarian pengetahuan, dan bila mereka ingin menafsirkan fakta yang mereka analisis, maka wajib memilih salah satu dari hipotesis ini sebagai titik awal. Entah apakah mereka menginginkannya atau tidak, pertanyaan yang timbul semestinya dalam bentuk berikut: bagaimana perjalanan naturisme atau animisme hingga mencapai bentuk tertentu, disana sini, atau memperkaya, atau memiskinkan dirinya sendiri sedemikian rupa. Karena tidak mungkin untuk menghindari keberpihakan ke satu sisi pada masalah awal ini, dan karena solusi yang diberikan akan mempengaruhi seluruh ilmu pengetahuan, maka ia harus 'diserang' dari awal mulanya: inilah yang kami maksudkan.

Selain itu, diluar reaksi-reaksi tak langsung, penelitian agama-agama primitif itu sendiri menimbulkan minat yang besar, inilah yang paling penting.

Meski sangat bermanfaat untuk mengetahui secara khusus suatu agama, tetap lebih penting untuk memahami apakah agama itu secara umum. Ini adalah suatu masalah yang sangat diminati oleh para filsuf sepanjang masa; dan bukannya tanpa alasan, karena ini juga adalah minat seluruh umat manusia. Sayangnya metode yang mereka gunakan sepenuhnya dialektika: mereka membatasi diri mereka sendiri dengan menganalisis hanya gagasan mereka sendiri tentang agama, kecuali saat mereka menggambarkan hasil dari analisis mental ini dengan contoh contoh yang diambil dari agama yang paling sesuai dengan ide mereka. Tapi bahkan jika metode ini ditinggalkan, masalah ini tetap ada, dan hebatnya ilmu filsafat adalah ia tidak dapat dipadamkan semata oleh pelajar-pelajar yang meremehkannya. Sekarang masalah ini dapat diatasi dengan cara yang berbeda. Karena semua agama dapat dibandingkan antara satu dengan yang lain, dan karena mereka adalah spesies dari suatu kelas yang sama, akan terdapat banyak unsur-unsur yang sama di dalam mereka. Kami tidak bermaksud membahas hanya karakteristik luar dan nyata yang mereka semua miliki, dan yang memungkinkan untuk mendefinisikan mereka pada awal penelitian kami; penemuan pertanda-pertanda ini relatif mudah, karena tidak dibutuhkan pengamatan hingga di 'bawah permukaan'. Namun kemiripan eksternal ini menandakan adanya makna yang lebih dalam. Pada fondasi dari semua sistem kepercayaan dan kultus tentunya terdapat sejumlah gambaran fundamental atau konsep dan sikap ritual yang, dengan mengesampingkan keberagaman bentuknya, memiliki kepentingan objektif yang sama dan memenuhi fungsi-fungsi yang sama dimanapun. Inilah unsur-unsur tetap yang membangun hal-hal yang kekal dan manusiawi dalam agama; mereka membentuk semua muatan objektif dari suatu gagasan yang muncul ketika seseorang membicarakan agama secara umum.

Bagaimana mungkin untuk menemukannya? Tentunya tidak dengan mengamati agama-agama rumit yang muncul sepanjang sejarah. Setiap agama ini terbentuk dari berbagai macam unsur sehingga sangat sulit untuk memisahkan yang sekunder dari primer, yang esensial dari yang tambahan. Anggaplah bila agama tersebut seperti yang terdapat di Mesir, India atau masa sebelum Abad Pertengahan. Ia adalah suatu kumpulan yang membingungkan dari berbagai kultus, bervariasi tergantung kepada daerah, kuil, generasi, dinasti, invasi dan lainnya. Takhayul yang populer bercampur aduk dengan dogma yang paling murni. Baik pemikiran maupun aktivitas keagamaan tidak tersebar merata diantara para penganutnya; menurut orang-orang, lingkungan dan keadaannya, kepercayaan dan ritus/upacara dipikirkan secara berbeda. Disini mereka disebut imam, di sana mereka disebut biksu, di tempat lain mereka disebut orang awam; ada pula mistikus dan rasionalis,ahli teologis dan nabi, dan lainnya. Dalam situasi ini sulit untuk melihat kesamaan diantara mereka.

Di dalam salah satu sistem-sistem ini mungkin dapat dilakukan studi yang berguna dari peristiwa tertentu yang berkembang di sana, seperti praktek pengorbanan atau ramalan, monastisisme (hidup kerahiban) atau misteri-misterinya; namun bagaimana mungkin menemukan suatu pijakan kehidupan keagamaan yang sama di balik bermacam 'tanaman lebat' yang menutupinya? Bagaimana mungkin menemukan-dibalik berbagai perselisihan teologis, keberagaman ritual, kelompok, bahkan individunya-karakteristik dasar dari mentalitas keagamaan secara umum? Keadaan agak berbeda pada tingkat masyarakat yang lebih rendah. Perkembangan individualitas yang lebih minim, perluasan kelompok yang kecil, situasi eksternal yang homogen, semua ini berperan mengurangi variasi ke tingkat minimum. Kelompok ini memiliki keselarasan intelektual dan moral yang jarang dijumpai pada masyarakat yang lebih maju. Segalanya sama untuk semua. Seluruh pergerakan ditentukan; setiap orang melakukan yang sama di situasi tertentu, dan keselarasan tingkah laku pada akhirnya menjadi keselarasan pemikiran. Setiap pikiran ditarik ke dalam pusaran yang sama, sifat seorang individu hampir bercampur aduk sepenuhnya dengan ras/keturunan nya. Dan ketika semuanya seragam, semuanya juga sederhana. Tidak ada yang cacat seperti mitos-mitos ini, semuanya terbentuk dari satu tema yang sama dan diulang tanpa henti, atau sepertinya ritus-ritus ini terdiri dari sejumlah kecil gerakan yang diulang-ulang, lagi dan lagi. Baik imajinasi umum atau pemikiran para imam tidak memiliki waktu atau cara untuk memurnikan dan mengubah kandungan asli gagasan dan kebiasaan keagamaan; hal-hal ini nampak dalam ketelanjangannya, dan hanya dibutuhkan sedikit upaya untuk melihatnya dengan jelas. Hal-hal yang sekunder atau tambahan, dikembangkan lebih sebagai hiasan, tidak menyembunyikan unsur-unsur dasarnya. Semuanya dapat dirangkum ke dalam sesuatu yang tidak tergantikan, tanpanya tidak akan ada agama sama sekali. Namun sesuatu yang tak tergantikan juga adalah sesuatu yang esensial, maka dari itu perlu diketahui sebelum yang lainnya.

Peradaban kuno memberikan kasus istimewa, karena mereka sederhana. Itulah mengapa, dalam semua bidang aktivitas manusia, pengamatan etnologis seringkali menghasilkan pengetahuan baru, yang telah memperbarui pembelajaran mengenai adat-adat manusia, Sebagai contohnya, sebelum pertengahan abad kesembilan belas, semua orang yakin bahwa sang ayah adalah unsur esensial dari suatu keluarga; tidak ada seorangpun berani bermimpi bahwa ada penyusunan keluarga dimana sosok paternal bukanlah kuncinya. Namun penemuan Bachofen muncul dan mengacaukan konsep lama ini. Hingga saat ini penemuan tersebut dianggap sebagai bukti bahwa hubungan moral dan legal dalam keluarga hanyalah aspek lain dari hubungan psikologis yang lahir dari keturunan yang sama; Bachofen dan penerusnya, MacLennan, Morgan dan banyak lainnya masih bekerja di bawah pemahaman yang salah ini. Namun karena kami telah mengenal sifat dasar dari klan primitif, kami tahu bahwa, sebaliknya, hubungan-hubungan ini tidak dapat dijelaskan oleh pertalian darah. Kembali ke agama, penelitian hanya ke agama-agama yang paling familiar telah mengarahkan manusia dalam waktu yang lama untuk percaya bahwa ide tentang Tuhan adalah sifat dari semua keagamaan. Namun agama yang akan kami pelajari di sini, sebagian besar tidak memiliki gagasan tentang keilahian; kekuatan-kekuatan yang menjadi tujuan ritus-ritus mereka sangatlah berbeda dengan apa yang dimiliki oleh agama modern kita, meski demikian mereka membantu kita untuk memahami konsep keilahian kita saat ini. Maka tidak ada yang lebih keliru daripada pandangan sebelah mata para ahli sejarah terhadap pekerjaan etnografer. Karena sudah jelas bahwa etnologi seringkali menghasilkan perubahan yang bermanfaat untuk berbagai cabang sosiologi. Sama seperti penemuan makhluk bersel tunggal, yang telah kami bicarakan tadi, mengubah gagasan kita tentang kehidupan. Sebab pada makhluk yang sangat sederhana ini, kehidupan dapat dilihat pada tingkat yang paling esensial, dan lebih mudah dipahami.

Namun agama-agama primitif tidak hanya membantu kami menemukan unsur-unsur dasar pembangun agama, mereka juga dapat menjelaskan unsur-unsur tersebut. Karena fakta-fakta yang ada lebih sederhana, hubungan di antara mereka pun lebih jelas terlihat. Alasan dibalik tingkah laku manusia tidaklah diuraikan dan dijelaskan oleh renungan dalam pembelajaran; mereka lebih erat kaitannya dengan motif-motif yang sebenarnya menentukan tingkah laku tersebut. Untuk benar-benar memahami halusinasi dan mengobatinya, seorang dokter harus mengetahui titik awal mulanya. Titik ini lebih mudah ditemukan bila ia dapat mengamatinya dekat dengan permulaannya. Semakin lama penyakit ini dibiarkan berkembang, semakin sult untuk diobservasi; hal ini karena berbagai macam interpretasi turut campur tangan sepanjang perkembangannya, dan memaksa kondisi awalnya masuk semakin dalam dan sulit ditemukan. Diantara halusiasi sistematis dan jejak awal yang melahirkannya, terbentang jarak yang cukup lebar. Sama halnya dengan pemikiran keagamaan. Sebanding dengan perkembangannya sepanjang sejarah, sebab-sebab kemunculannya, meskipun masih ada, tidak terlihat lagi, kecuali melalui susunan interpretasi yang sangat luas dan sebenarnya mengubahnya. Mitologi populer dan teologi yang tidak ketara telah berhasil; mereka telah meletakkan diri mereka di atas nilai-nilai primitif, dan meski mereka tetap bertopang kepada nilai-nilai awal tersebut, mengaburkan sifat-sifat awal yang sesungguhnya. Jarak psikologis antara sebab dan akibat, antara sebab yang terlihat dan sebab yang sesungguhnya, telah menjadi sangat besar dan sulit untuk dilompati oleh pikiran. Selanjutnya di buku ini akan diberikan ilustrasi dan verifikasi untuk pernyataan mengenai metode tersebut. Akan terlihat bagaimana, pada agama primitif, fakta-fakta keagamaan masih dengan jelas membawa tanda-tanda dari asal-usulnya: hampir tidak mungkin untuk menemukannya dari penelitian kepada agama-agama yang sudah berkembang.

Oleh sebab itu penelitian yang kami lakukan mengangkat kembali-dalam situasi baru-masalah klasik tentang awal mula lahirnya agama. Untuk memastikannya, bila kita mengatakan asal mula sebagai benar-benar permulaannya, pertanyaan ini tidak bersifat ilmiah dan seharusnya dengan tegas dikesampingkan. Tidak ada saat tertentu dimana agama mulai tercipta, dan karenanya tidak ada cara untuk pemikiran kita sampai ke sama. Seperti semua adat/kebiasaan manusia, agama tidak mulai di satu tempat manapun. Maka semua spekulasi semacam ini sebaiknya tidak diterima; mereka hanya bisa berdiri di dalam suatu susunan yang subjektif dan berubah-ubah dan tidak teratur. Namun masalah yang kami hadirkan agak berbeda. Apa yang ingin kami lakukan adalah menemukan sarana untuk melihat sebab-sebab yang selalu ada di balik bentuk-bentuk kebiasaan dan pemikiran agama yang paing esensial. Maka untuk alasan yang telah kami jabarkan, sebab-musabab ini lebih mudah diamati bila masyarakat tempat mereka berada juga lebih sederhana. Itulah kenapa kami mencoba sedekat mungkin dengan awal mula. Bukan berarti kami menganggap nilai kebajikan bersumber dari agama-agama yang lebih rendah derajatnya. Sebaliknya, mereka masih sangat sederhana dan kasar; kita tidak bisa menjadikan mereka model awal dimana agama-agama yang lebih modern hanya sekedar menirunya. Meski demikian kekasaran mereka memberikan pelajaran berharga, karena mudahnya melakukan eksperimen pada mereka, dan fakta-fakta serta hubungannya terlihat jelas. Untuk menemukan asas dasar dari fenomena yang dipelajarinya, seorang fisikawan mencoba menyederhanakan dan menghilangkan sifat sekunder dari fenomena tersebut. Demikian pula untuk fenomena berkaitan adat dan kebiasaan, secara alami ada penyederhanaan pada awal mula sejarah. Kami hanya ingin mengambil keuntungan dari ini. Tak diragukan lagi kami hanya dapat menyentuh fakta yang sangat mendasar dengan metode ini. Ketika kami menggunakan metode ini sejauh yang kami bisa, berbagai hal baru yang terbentuk sepanjang evolusinya belum akan dijelaskan. Tapi sementara kami tidak pernah bermimpi untuk membantah pentingnya masalah yang muncul, kami berpikir bahwa lebih baik bila mereka dipelajari pada waktunya nanti, hanya setelah kami menyelesaikan penelitian saat ini.

Pengerjaan masih berlangsung

x